Tentang Berbagi

Hidup adalah rangkaian perjumpaan. Setiap perjumpaan membawa pengalaman entah berupa pengetahuan, ketrampilan, kebijakan atau apapun itu. Semua adalah sebuah pembelajaran yang layak untuk dibagikan. Berbagi menunjuk pada hati yang penuh syukur. Syukur bukan hanya kebajikan yang terbesar, melainkan merupakan induk dari kebajikan lainnya.(yoesthie_2000@yahoo.com)

SEKADAR KATA

Bagi beberapa orang, berpikiran negatif merupakan kebiasaan, yang sejalan dengan berlalunya waktu akan menjadi kecanduan. Seperti penyakit kecanduan alkohol, berlebihan makan, kecanduan obat terlarang. Banyak orang menderita akibat penyakit ini karena berpikiran negatif akan merusak tiga hal yaitu jiwa, tubuh dan perasaan.(Peter Mc Williams)

Tampilkan postingan dengan label Spirit. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Spirit. Tampilkan semua postingan

MENGANYAM ASA MENUJU HUTAN LESTARI

Dalam zaman kegelapan, tetap ada juakah orang yang bernyanyi?. Ya, ada orang yang akan bernyanyi : Nyanyian tentang zaman kegelapan. Sebaris puisi karya Bertold Brecht ini bagus untuk menggambarkan permasalahan hutan yang kini tengah berada dalam ‘jaman kegelapan’.
Bagi masyarakat sekitarnya, hutan sejak semula sudah menjadi komponen penting dari strategi penghidupan mereka. Beberapa hasil hutan dalam bentuk produk non kayu baik mentah maupun olahan telah berkembang menjadi komoditi yang dicari dan popular di pasaran (marketable). Namun perubahan paradigm soal hutan yang lebih menekankan pada aspek ekonomi di masa rezim orde baru dan tetap diteruskan sampai saat ini, memindahkan penguasaan dan pengelolaan hutan pada investor yang bermodal kuat. Akibatnya perlahan-lahan produk hutan non kayu dan masyarakat sekitar hutan menjadi tersingkir dan kurang diperhitungkan lagi. 
Kebijakan yang berpihak pada modal dan pengelolaan yang serampangan mengakibatkan sebagian besar wilayah hutan berada dalam kondisi ‘nestapa’. Bencana akibat kerusakan hutan mulai dituai dimana-mana. Maka menguatkan dan meningkatkan perhatian pada pemungutan dan pengembangan pemasaran hasil hutan non kayu bisa menjadi perangkat pemanfaatan dan pengelolaan hutan yang ramah lingkungan agar hutan tetap lestari. 
Puluhan keluarga perajin anyam-anyaman dan mebelair di desa Kinilow bisa menjadi cermin perihal bagaimana mendayagunakan produk hutan non kayu seraya menjaga keajegan persediaannya. Ibu Lenny Manoppo (42 th) seorang perajin dan sekaligus pemilik kios kerajinan tangan memberi sebuah kesaksian. Sepulang dari ‘belajar’ di Yogyakarta, penggunaan bahan kerajinan menjadi lebih efektif. “Dulu torang kalau pakai buluh cuma ambil depe kulit, maar sekarang depe daging torang so pakai juga sehingga nyanda banyak yang tabuang parcuma” katanya.
Peningkatan ketrampilan dan wawasan membuat para perajin mampu melakukan inovasi produk sesuai tuntutan dan tren jaman. Hendrik Runtulalu (64 th) yang sudah 20-an tahun berjualan mengungkapkan bahwa kini banyak juga rumah makan dan hotel yang mengambil produk kerajinan berupa kap lampu hias dan aneka anyaman untuk menyajikan buah-buahan dan makanan lainnya. 
Kunci dari efektifitas pemakaian bahan yang berasal dari hutan adalah dengan memadukannya. Setiap produk tidak dibuat dengan bahan tunggal melainkan campuran. Rotan misalnya hanya dipakai untuk bahan pemanis tampilan dan penguat ikatan. Hal ini telah dipraktekkan oleh ibu-anak, Yull Polakitan (51th) dan Angky Nangka (25 th) yang menekuni pembuatan mebelair bambu dan pernak-pernik anyaman untuk keperluan aksesori rumah.
Kawasan hutan di pengunungan termasuk ekosistem yang ringkih (fragile ecosystem) dan juga amat sensitive sehingga pola pemanfaatannya harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Masyarakat Kinilow dan sekitarnya membuktikan bahwa mereka mampu memanfaatkan hutan di Gunung Empung secara lestari (sustain mountain development) berbasis pada kesadaran komunal mereka. Sistem pengelolaan tradisional ini tidak akan cukup untuk memastikan kelestarian hutan di Gunung Empung pada masa mendatang. Pemerintah perlu member dukungan politik yang kuat untuk menjaga kelestarian keanekaragaman hayati dan jasa-jasa lingkungan yang diturunkan oleh kawasan ini, sembari tetap memenuhi aras keadilan ekologis, ekonomi, budaya dan social masyarakat di sekitarnya.

Baca Selanjutnya.....

BUNGA dan Kilau Emas di Hari Valentine

“Buat kisah cintamu bersinar di hari Valentine dan jadikan kenangan manis yang abadi”. Itu bunyi salah satu iklan perhiasan emas dan berlian di satu koran nasional, menyambut peringatan hari Valentine yang biasa dirayakan pada tanggal 14 Februari. Emas, kilaunya ternyata banyak menyimpan sisi gelap yang tidak diketahui para pemakainya. Sisi yang jauh dari kilaunya yang melambangkan luapan rasa cinta. Emas menjadi simbol keabadian, cinta yang tak lekang oleh waktu, kuat bertahan dalam keadaan apapun. Tahukah untuk membuat sepasang cincin emas seberat 10 gram, dibutuhkan berton-ton bahan galian, yang nantinya akan dibuang dalam bentuk batuan dan tailing. Selain itu ada pula buangan emisi beracun, mercury, sianida dan timbal yang terus akan bertahan di lokasi pembuangan.

Nasib Surtini dan 67 KK warga desa Buyat Pante yang memilih meninggalkan tempat tinggalnya untuk membangun pemukinam baru di Duminanga memang tidak sekemilau emas. Justru karena emas mereka harus melakukan eksodus, perjalanan peziarahan sejauh 130 km menuju tanah harapan baru di Duminanga, Kecamatan Bolaang Uki, Kabupaten Bolaang Mongondow. Diantara warga yang berpindah Surtini adalah ‘bintang’ perlawanan masyarakat atas operasi maskapai pertambangan internasional yang merugikan masyarakat dan lingkungan setempat. Salut, penghargaan dan kekaguman atas gigihnya perlawanan Surtini dan teman-temannya datang dari mana-mana. Namun tak sedikit pula yang ‘mencibirnya’ bahkan ada yang menuduh Surtini dan ibu-ibu lainnya adalah ‘aktris’ yang piawai memancing perhatian media. Pandai menunjukkan wajah ‘memelas’ dan meneteskan airmata di depan kamera. Namun apapun kata orang, mereka tak peduli. Apa yang mereka pedulikan dan perjuangkan adalah lingkungan tempat mereka tinggal dan ladang kehidupan yang kini tak lagi ramah untuk ditinggali. Buyat Pante bagi mereka sudah tidak aman lagi.

Perlawanan mereka bak membentur dinding beton yang kokoh hingga kemudian mereka menyingkir. Namun permasalahan tak henti sampai disitu. Lokasi yang mereka pilih ternyata tidak direstui pemerintah setempat, para pejabat mengatakan kawasan itu tidak layak huni karena tidak rata dan terjal. Namun mereka tetap bertahan meski harus tinggal dalam barak 3 x 3 meter dengan sekat tripek. Yang paling penting adalah memulai hidup baru yang lebih tenang dan jauh dari ketakutan akan dampak pencemaran terhadap diri mereka.

Sampai kini suara dan berita yang mengabarkan kehidupan warga Buyat di Duminanga sungguh sengsara karena tinggal di gubuk dan kebanyakan hanya memakan ubi sebagai makanan pokok masih terus terdengar. Surtini mengakui bahwa kawasan perumahan yang kini disebut BUNGA (Buyat-Duminanga) memang masih sangat sederhana. Tapi paling tidak kehidupan mulai berdenyut. Anak-anak mulai bisa bersekolah, orang tua juga mulai bisa mencari nafkah baik dengan melaut atau berkebun. Warga setempat mulai menerima kehadiran mereka, bahkan merelakan tanahnya untuk disewa dengan sistem ‘Tumuyo’ atau bagi hasil.

Masalah ekonomi memang masih menjadi tantangan untuk mereka. Tapi karena kesehatan mulai membaik kini mereka bisa tetap bekerja keras untuk membangun kehidupan yang lebih baik. Warga BUNGA memang bukan korban yang biasa, mereka terus berjuang – meski tak gegap gempita dulu - dengan daya sendiri tanpa berharap pada segepok dana bantuan yang seharusnya turut mereka nikmati. Kilau emas memang mahal harganya, tapi hidup dan kehidupan jauh lebih berharga.
Baca Selanjutnya.....

Mengukuhkan Peran Petani Perempuan

Ketahanan pangan merupakan bagian terpenting dari pemenuhan hak atas pangan sekaligus merupakan salah satu pilar utama hak azasi manusia. Ketahanan pangan juga merupakan bagian sangat penting dari ketahanan nasional. Dalam hal ini hak atas pangan seharusnya mendapat perhatian yang sama besar dengan usaha menegakkan pilar-pilar hak azasi manusia lain. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan mengamanatkan bahwa pemerintah bersama masyarakat mewujudkan ketahanan pangan bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi, lemahnya akses dan kontrol petani terhadap alat dan politik produksi membuat hal ini tidak mudah dicapai.

Di desa Sa’uk yang berada pada pinggiran jalan poros Bolaang Mongondow Induk – Gorontalo, sekelompok ibu-ibu berupaya untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga lewat pertanian. Ibu-ibu yang tergabung dalam kelompok tani Sejahtera ini sudah 3 kali menanam jagung secara bergotong royong di lahan seluas kurang lebih 1 ha.

Kelompok yang terbentuk pada bulan Mei 2007 ini awalnya memang diinisasi oleh sebuah yayasan yang bergerak di bidang pemberdayaan perempuan dan anak (YAPPA). Menurut H Gobel, Sangadi Sa’uk pada awalnya ada 3 kelompok, tapi 2 kelompok lainnya layu sebelum berkembang. Ibu Alwina Kaburuang, koordinator kelompok tani Sejahtera mengatakan bahwa semangat kebersamaan membuat kelompoknya tetap bertahan. Bertani baginya berarti memanfaatkan waktu yang terluang, membangun kebersamaan dengan sesama perempuan dan meningkatkan pendapatan keluarga.

Meski apa yang dilakukan oleh kelompok tani perempuan Sejahtera adalah aktivitas yang biasa saja, namun sesungguhnya mereka telah mendobrak kebiasaan. Karena mereka sendiri yang mempersiapkan lahan, menentukan apa yang akan ditanam, merawat dan memanen sendiri. Padahal dalam dunia pertanian Indonesia, perempuan lazimnya tidak pernah menjadi penentu atau subyek dalam bertani. Perempuan umumnya hanya terlibat dalam menanam benih dan memetik hasil. Alwina dan teman-temannya tidak punya cita-cita yang muluk-muluk sebab mereka sadar akan keterbatasan diri mereka. Bisa menanam tiap musim tanam sudahlah cukup bagi mereka.

Mungkin petani kita memang takut untuk bercita-cita sebab pusaran masalah yang melilit mereka bak ‘lingkaran setan’. Meski kedudukan petani pangan sangat strategis dalam membangun ketahanan pangan tetapi berbagai keterbatasan belum juga mampu dilepaskan. Keterbatasan itu antara lain : (a) Petani miskin karena tidak memiliki factor produktif selain tenaga mereka, (b) Luas lahan terbatas (sempit) dan terus mendapat tekanan untuk dikonversi, (c) Akses pada layanan dukungan pembiayaan rendah, (d) Akses pada informasi dan teknologi yang lebih baik terbatas, (e) Infrastruktur produksi (air-irigasi, jalan, listrik, dll) kurang memadai, (f) Struktur pasar yang tidak adil dan eksploitatif akibat posisi tawar petani sangat rendah.

Sekalipun dililit berbagai keterbatasan, Alwina menyatakan akan tetap mengolah lahan bersama kelompoknya. Meski demikian dia berharap ada pihak-pihak yang mau membantu mereka melengkapi peralatan untuk dipakai bercocok tanam seperti mesin pemotong rumput dan spryer untuk menyemprotkan pupuk dan obat pembasmi hama. Jika saja mereka mempunyai mesin pemotong rumput maka lahan yang bisa diolah akan lebih luas dan otomatis hasil yang didapatkan juga akan lebih banyak. Dengan demikian sejahtera tidak hanya menjadi nama kelompok mereka melainkan juga menjadi gambaran kehidupan mereka bersama keluarganya. (yoesthie).
Baca Selanjutnya.....

ORANG MISKIN : Melawan Lupa Ingatan Pemimpinnya

Galang Rambu Anarki………BBM naik tinggi, susu tak terbeli. Orang pintar tarik subsidi, rakyat banyak kurang gizi......!!!. Penggalan tembang lawas milik Iwan Fals ini sangat cocok menggambarkan kondisi masyarakat saat ini yang terhimpit oleh meroketnya harga BBM, dampak ikutan dan rencana pengurangan subsidi atasnya.

Di sudut kota Manado, tepatnya di desa Bailang Ibu Uming Purman dan teman-temannya gigih menggalang persatuan antar sesama dalam Kelompok Jaringan Miskin Kota. Saat ini ada kurang lebih 36 ibu-ibu istri dari pedagang keliling, petani kecil, buruh dan bahkan pengangguran telah bergabung menjadi anggota. Karena tidak semuanya selalu aktif maka dibuatlah arisan sembako untuk merangsang kehadiran anggota dalam pertemuan. Dan ternyata benar sebab kini semakin banyak ibu-ibu datang dan berkumpul setiap hari Selasa untuk mencabut undi dalam arisan sembako. Nama yang keluar pulangnya akan membawa beras, gula, telur, supermie, minyak kelapa dan lain-lain yang akan cukup membuat dapur mengebul dalam beberapa hari ke depan.

Arisan sembako bagi Cik Uming hanyalah sekedar alat dan bukan merupakan tujuan. Meski demikian arisan ini dirasa sangat membantu oleh anggota jaringan miskin kota di desa Bailang. Tujuan yang sesungguhnya adalah agar sebagai sesama warga miskin mereka bisa saling membantu, menjaga silaturahmi, berbagi kesulitan dan mencari jalan pemecahan masalah secara bersama. Mereka sepertinya mempraktekkan slogan kampanye SBY-JK saat pemilu presiden ”Bersama Kita Bisa”.

Dalam segala keterbatasannya, mereka tak lupa juga membangun Gerakan Tabungan Miskin Kota dengan prinsip (1) Kerja Keras, (2) Saling Menghargai, (3) Kerjasama, (4) Jujur, (5) Tidak Korupsi. Dan kini ditengah lonjakan harga sembako yang tiada henti dan berbagai kebijakan pemerintah yang miskin implementasi, hasil tabungan mereka akan digunakan untuk usaha jual beli sembako bagi anggota Jaringan Miskin Kota. Mereka akan memulainya dari beras. Dengan selisih harga yang lebih murah dari warung biasanya diharapkan para anggota akan sedikit terbantu mengelola penghasilan yang memang tidak seberapa.

Komunitas masyarakat miskin baik di kota maupun di desa adalah komunitas yang terbiasa menghadapi penderitaan dengan diam. Berkali-kali atau bahkan selalu mereka menjadi korban terakhir dari sebuah produk kebijakan. Kebijakan yang khusus ditujukan untuk mereka, umumnya miskin implementasi. Berhembus bak angin dari surga. Maka pilihan Urban Poor Link atau biasa disebut UP Link untuk mengoorganisir ibu-ibu miskin di daerah perkotaan agar bisa menolong diri mereka dan komunitasnya adalah sebuah pilihan yang tepat. Dalam kaitan dengan energi misalnya, pengguna terbesar adalah sektor rumah tangga. Dan umumnya perempuanlah yang bertanggungjawab untuk pengadaan dan penggunaannya. Ibu-ibu di Bailang karena langkanya minyak tanah mulai melirik kembali penggunaan kayu bakar. Kayu ini harus diambil di Gunung Bailang kurang lebih 1 kilometer dari tempat tinggal mereka. Butuh waktu 1 – 2 jam untuk mengumpulkan sejumlah kayu hingga cukup untuk kebutuhan memasuk di dapur rumah mereka. Waktu dan tenaga yang seharusnya bisa dipakai untuk lebih memperhatikan pendidikan dan kesehatan anak-anak mereka kini harus terbuang hanya untuk tetap menjaga agar tungku di dapur tetap menyala. Atau bahkan hanya agar tetap bisa menyediakan secangkir teh atau kopi panas bagi sang suami.

Ironisnya meski energi erat kaitannya dengan perempuan namun dalam negosiasi-negosiasi global soal energi selalu didominasi oleh kaum laki-laki. Padahal sekali lagi kebijakan energi kerap memberikan tugas tambahan bagi perempuan disamping ’tugas tradisional’ mereka untuk merawat keluarga. Ketersediaan energi dengan harga terjangkau menjadi tantangan bagi para pengambil kebijakan dan pelaksana pemerintahan di masa kedepan. Jika hal ini tidak tercapai maka peran kaum perempuan untuk turut mensejahterakan diri mereka dan keluarga serta masyarakat akan teramat sulit untuk diwujudkan. Akankah kita membiarkan perempuan terus menerus menjadi korban?.

Di usianya yang mulai senja ternyata Cik Uming tetap memelihara cita-citanya untuk memenuhi halaman rumahnya yang tak begitu luas dengan tanaman obat-obatan (toga). Kelak dia ingin menularkan ketrampilannya meramu obat herbal dan akupuntur (pijat) agar anggota jaringan dan keluarganya tetap sehat. Sementara soal kesehatan lingkungan, kelompok ini merencanakan untuk membuat pelatihan pengolahan sampah rumah tangga secara mandiri dan sederhana. Hasil pengolahan sampah rumah tangga nantinya akan digunakan untuk menghijaukan kawasan disekitar tempat tinggal mereka. Mereka memang hanya orang biasa, cita-cita merekapun hanya biasa-biasa saja namun kelak apa yang mereka lakukan akan amat berarti untuk masa depan lingkungan pemukiman sekitarnya. ( yoesthie)*
Baca Selanjutnya.....