BUNGA dan Kilau Emas di Hari Valentine
Nasib Surtini dan 67 KK warga desa Buyat Pante yang memilih meninggalkan tempat tinggalnya untuk membangun pemukinam baru di Duminanga memang tidak sekemilau emas. Justru karena emas mereka harus melakukan eksodus, perjalanan peziarahan sejauh 130 km menuju tanah harapan baru di Duminanga, Kecamatan Bolaang Uki, Kabupaten Bolaang Mongondow. Diantara warga yang berpindah Surtini adalah ‘bintang’ perlawanan masyarakat atas operasi maskapai pertambangan internasional yang merugikan masyarakat dan lingkungan setempat. Salut, penghargaan dan kekaguman atas gigihnya perlawanan Surtini dan teman-temannya datang dari mana-mana. Namun tak sedikit pula yang ‘mencibirnya’ bahkan ada yang menuduh Surtini dan ibu-ibu lainnya adalah ‘aktris’ yang piawai memancing perhatian media. Pandai menunjukkan wajah ‘memelas’ dan meneteskan airmata di depan kamera. Namun apapun kata orang, mereka tak peduli. Apa yang mereka pedulikan dan perjuangkan adalah lingkungan tempat mereka tinggal dan ladang kehidupan yang kini tak lagi ramah untuk ditinggali. Buyat Pante bagi mereka sudah tidak aman lagi.
Perlawanan mereka bak membentur dinding beton yang kokoh hingga kemudian mereka menyingkir. Namun permasalahan tak henti sampai disitu. Lokasi yang mereka pilih ternyata tidak direstui pemerintah setempat, para pejabat mengatakan kawasan itu tidak layak huni karena tidak rata dan terjal. Namun mereka tetap bertahan meski harus tinggal dalam barak 3 x 3 meter dengan sekat tripek. Yang paling penting adalah memulai hidup baru yang lebih tenang dan jauh dari ketakutan akan dampak pencemaran terhadap diri mereka.
Sampai kini suara dan berita yang mengabarkan kehidupan warga Buyat di Duminanga sungguh sengsara karena tinggal di gubuk dan kebanyakan hanya memakan ubi sebagai makanan pokok masih terus terdengar. Surtini mengakui bahwa kawasan perumahan yang kini disebut BUNGA (Buyat-Duminanga) memang masih sangat sederhana. Tapi paling tidak kehidupan mulai berdenyut. Anak-anak mulai bisa bersekolah, orang tua juga mulai bisa mencari nafkah baik dengan melaut atau berkebun. Warga setempat mulai menerima kehadiran mereka, bahkan merelakan tanahnya untuk disewa dengan sistem ‘Tumuyo’ atau bagi hasil.
Masalah ekonomi memang masih menjadi tantangan untuk mereka. Tapi karena kesehatan mulai membaik kini mereka bisa tetap bekerja keras untuk membangun kehidupan yang lebih baik. Warga BUNGA memang bukan korban yang biasa, mereka terus berjuang – meski tak gegap gempita dulu - dengan daya sendiri tanpa berharap pada segepok dana bantuan yang seharusnya turut mereka nikmati. Kilau emas memang mahal harganya, tapi hidup dan kehidupan jauh lebih berharga.
0 komentar:
Posting Komentar