HOMECOMING atawa MUDIK
Jaring garis keturunan dan segepok rindu pada romantika masa lalu membuat panggilan pulang di kala lebaran bukan sekadar untuk mengucap ‘Minalaidin Walfaizin’ pada orang tua dan sanak saudara di kampung. Mudik di saat lebaran adalah juga masa jeda dari rutinitas kerja keras di tanah rantau. Lari sejenak dari segenap kesibukan untuk kembali pada pelukan ‘tanah asal’. Mudik adalah pernyataan kesetiaan juga kembali memperkuat ikatan kepada mereka yang ditinggalkan.
Bicara mudik tidak sekedar aksi pulang kampung. Mudik juga melahirkan berbagai macam kebiasaan atau ‘tradisi’ lain yang terus berulang dari waktu ke waktu. Jauh sebelum hari mudik tiba, loket kereta api sudah dijubeli para pengantri. Yang turut berdesakan ternyata bukan cuma calon pemudik, melainkan juga calo-calo tiket dan termasuk pula para pencopet dompet. Tradisi mumpung memang tumbuh subur menjelang hari lebaran. Pemudik adalah orang yang berada dalam kondisi ‘kepepet’ . Maka biarpun harga karcis mahal dan sulit dicari, tetap akan dibelinya.
Di negeri ini aneka kesulitan seperti ini terus berulang bahkan cenderung menjadi sebuah ‘keajegan’. Mudik bukanlah tradisi yang baru lahir kemarin sore, akan tetapi ketika saat mudik tiba, mereka para pemudik selalu menghadapi kesulitan yang sama. Janganlah bicara soal kenyamanan saat pulang mudik, sebab hal dasar macam keamanan saja sulit untuk dipenuhi. Perhatikan saja berita kriminal di televisi, pemudik yang menjadi korban kejahatan mulai berjatuhan. Begitu mengenaskan perjalanan penting dan membahagiakan harus berakhir dengan nestapa. Bagi sebagian besar pemudik, pulang kampong selain karena alasan ‘laku religius’ juga untuk menunjukkan bahwa mereka masih ‘ber-ada’. Apapun yang mereka bawa semua dikumpulkan sedikit demi sedikit bahkan kerap mengorbankan ‘kebutuhan’ diri mereka selama di rantau.
Pemudik dengan ‘kelebihan’ yang dikumpulkan dari kekurangan memang kerap menjadi obyek dari banyak pihak. Dan ‘kelebihan’ itu mulai digerogoti oleh berbagai pihak sejak dari awal perjalanan mereka hingga menginjakkan kaki di kampung halamannya. Ada banyak cara mulai dari yang paling halus sampai paling kasar untuk ‘merampok’ barang atau harta bawaan kaum pemudik.
Mudik sejatinya memang perlu ongkos dan semua itu pasti disadari oleh semua orang. Namun ada banyak hal yang mestinya tidak selalu berulang setiap tahunnya. Betapa menyedihkan jika niat sebagian besar orang untuk merengkuh kebahagiaan harus berakhir dengan nestapa. Sebagaian besar pemudik adalah orang-orang yang tidak tentu mampu mengecap kesenangan dalam kehidupan sehari-harinya. Maka mestinya pihak-pihak yang terkait dengan aktivitas mudik ini tidak mengambil sikap ‘aji mumpung’ untuk menguras uang para pemudik. Para pihak yang bertanggungjawab untuk membantu kelancaran dan kenyamanan pemudik hendaknya juga mulai mempertanggungjawabkan kinerjanya dengan tidak mulai sibuk saat menjelang lebaran tiba.
Mudik adalah sebuah realitas tahunan yang akan terus berulang. Namun kejengkelan, kepenatan dan kesedihan yang kerap menyertainya mestinya tidak harus terulang dan menjadi kebiasaan. Meski banyak yang berkomentar bahwa mudik adalah aktivitas kampungan, bisa dipastikan andai Decartes tinggal di negeri ini maka dia akan mengatakan ‘mudiko ergo sum’. Saya mudik maka saya ada.
0 komentar:
Posting Komentar