Tentang Berbagi

Hidup adalah rangkaian perjumpaan. Setiap perjumpaan membawa pengalaman entah berupa pengetahuan, ketrampilan, kebijakan atau apapun itu. Semua adalah sebuah pembelajaran yang layak untuk dibagikan. Berbagi menunjuk pada hati yang penuh syukur. Syukur bukan hanya kebajikan yang terbesar, melainkan merupakan induk dari kebajikan lainnya.(yoesthie_2000@yahoo.com)

SEKADAR KATA

Bagi beberapa orang, berpikiran negatif merupakan kebiasaan, yang sejalan dengan berlalunya waktu akan menjadi kecanduan. Seperti penyakit kecanduan alkohol, berlebihan makan, kecanduan obat terlarang. Banyak orang menderita akibat penyakit ini karena berpikiran negatif akan merusak tiga hal yaitu jiwa, tubuh dan perasaan.(Peter Mc Williams)

Menjadi Gereja Baru : 100 Tahun Gereja Katolik Kalimantan Timur

Tahun 2007 Gereja Katolik Kalimantan Timur (wilayah gereja Keuskupan Agung Samarinda dan Tanjung Selor) memperingati 100 tahun kehadiran dan pekabaran Injil di Benua Etam. Jika pada masa-masa awal tantangan karya missioner adalah alam yang ganas, penyakit (malaria, tbc, dll), penolakan masyarakat dan keterpencilan maka dalam masa sekarang ini tantangan yang paling utama adalah bagaimana gereja bisa mewujudkan diri sebagai kekuatan lokal yang mandiri untuk memberdayakan masyarakat (ummat). Saat ini dukungan untuk karya pastoral gereja dari ’induk karya missioner’ dari Eropa sudah paripurna maka gereja lokal harus menggali sumberdaya sendiri untuk memenuhi kebutuhan bagi pelayanannya. Jika peringatan 100 tahun merupakan tonggal kebangkitan gereja lokal maka bagaimana seratus tahun ke depan gereja Katolik Kalimantan Timur bisa hadir sebagai ’kekuatan pembebasan’ dengan sumberdaya yang cukup bagi masyarakat (ummat). Kini sebagian besar ummat masih berada dalam kondisi yang memprihatinkan, tanah subur dan sumberdaya alam lainnya tidak lagi di tangan mereka dan kebudayaan lokal sebagai sumber spirit kehidupan ummat (yang sebagian besar adalah masyarakat Dayak) juga tengah berada di persimpangan jalan. ”Preparation option for the poor” atau keperpihakan kepada orang miskin (tertindas, terpinggirkan, tergusur, dll) dengan inspirasi dari para missionaris awal masih mempunyai ruang terbuka dan lebar untuk menjadi medan baru bagi karya missioner Gereja Katolik Kalimantan Timur sebagai gereja lokal yang mandiri.


Bermula Dari Hulu Mahakam
Mgr. Florentinus Sului MSF dalam kotbah misa perayaan 100 tahun Gereja Katolik di Kalimantan Timur yang dilaksanakan di Lapangan Tanaa Purai Ngeriman ( tanah yang suci-bersih, subur-makmur dan berlimpah ini) mengisahkan sejarah perkembangan karya misi di bumi Kalimantan Timur. Dalam penuturan Uskup Agung Samarinda ini diungkapkan bahwa karya missioner di Kalimantan Timur sebenarnya mulai dirintis dari abad ke 16 dengan masuknya Pastor Antonius Ventimiglia yang masuk ke komunitas Dayak Ngaju lewat Kalimantan Tengah. Namun karya missioner itu terhenti dengan terbunuhnya P. Antonius Ventimiglia pada tahun 1662. Namun usaha untuk meneruskan karya missioner terus dilakukan meski pernah disimpulkan bahwa daerah Kalimantan Timur bukanlah daerah yang aman untuk mewartakan Injil.

Prefektus Apostolik Pontianak yang terbentuk pada tahun 1905 dengan dimotori para missionaris dari Ordo Kapusin mulai merintis kembali pekabaran Injil di Kalimantan Timur. Karya missioner ini dimulai dengan kedatangan Pastor Libertus Cluts, Cammilus Buil dan Bruder Ivo ketiganya dari Ordo Kapusin pada tahun 1907 di Desa Laham yang terletak di hulu Mahakam kurang lebih 500 km dari Samarinda. Medan karya missioner mereka adalah masyarakat Dayak yang kental dengan kepercayaan lokal mereka (yang kerap disebut sebagai animisme dan dinamisme) susah untuk ditembus bahkan cenderung menolak sistem kepercayaan baru yang diperkenalkan oleh para missionaris yang tentu saja tidak menguasai bahasa mereka. Mgr. Sului mengatakan saat itu para missionaris hampir putus asa dan berniat untuk menyerah. Namun sebuah pencerahan datang, muncul ide dari antara mereka untuk merubah strategi pendekatan yaitu dengan mendirikan sekolah bagi anak-anak Dayak. Maka mereka mulai mendirikan sekolah dan asrama sederhana serta memberi pelayanan kesehatan. Usaha untuk membawa anak-anak ke asrama untuk bersekolah juga tidak mudah karena keberatan dari orang tua mereka yang perlu tenaga anak-anaknya untuk membantu kegiatan perladangan. Ketika anak-anak sudah ada di asramapun kadang masih dijemput kembali oleh orang tuanya untuk dibawa pulang karena kegiatan perladangan telah dimulai kembali atau karena ada acara adat di kampungnya.

Namun meski perlahan akhirnya bibit yang disebar oleh para missionaris mulai dituai dengan baptisan untuk 14 putra dan 21 putri pada tahun 1913. Dua belas tahun kemudian yaitu pada tahun 1925 sakramen perkawinan untuk pertama kalinya diterima oleh sepasang putra-putri Dayak. Kekuatan karya missioner pada tahun 1920 bertambah dengan kehadiran 3 suster dari konggregasi Fransikanes Veghel (sr. Alexia, Ligoria dan Theodorata). Karena kesulitan komunikasi antara Pontianak dan Laham serta kurangnya sumberdaya dari Ordo Kapusin, maka popinsial Kapusin di Belanda menawarkan kepada Konggregasi MSF (Misionaris Keluarga Kudus) untuk mengambil alih karya missioner di Kalimantan Timur. Sejak tahun 1926, konggregasi MSF secara resmi mengambil alih karya missioner di Kalimantan Timur. Pusat misi kemudian di pindah ke Tering. Sumberdaya juga mulai bertambah dengan kedatangan suster dari Konggregasi Fransikanes Dongen dan MASF. Setelah jaman kemerdekaan tepatnya tahun 1955, pusat misi akhirnya dipindahkan ke Samarinda. Pada tahun 1961 status vikariat apostolik Samarinda ditingkatkan menjadi Keuskupan Samarinda. Tahun 2003 keuskupan Samarinda yang telah melahirkan Keuskupan Tanjung Selor ditetapkan sebagai Keuskupan Agung dengan wilayah koordinasi pastoralnya meliputi keuskupan sufragan Banjarmasin, Palangkaraya dan Tanjung Selor.

Dalam penutup kotbahnya Mgr. Sului yang adalah putra Dayak mengungkapkan bahwa karya missioner di Kaltim menuai tuaian yang lumayan banyak. Namun lanjut Mgr. Sului tugas itu belum selesai dan harus terus dilanjutkan sebagaimana kutipan yang diambil dari injil Lukas 5:1 ”Bertolaklah ke tempat yang lebih dalam”.

100 persen Dayak – 100 persen Katolik
Masyarakat Dayak adalah bagian terbesar dari umat di Gereja Katolik Keuskupan Samarinda. Perjumpaan dan pergulatan antara ”Kekatolikan” dan ”Kedayakan” tentu saja menjadi sebuah proses penting dalam mewujudkan Gereja Katolik lokal yang mandiri. Jauh sebelum gereja Katolik masuk, masyarakat Dayak adalah masyarakat yang telah mempunyai sistem peradaban yang matang selama berabad-abad (kebudayaan dan kepercayaan). Pertemuan antara agama langit (Abrahamis) dengan agama bumi (agama lokal atau suku) kerap dalam wujud saling mengalahkan, namun biasanya agama langit yang kini menjadi agama mainstream atau diakui oleh negara yang keluar sebagai pemenangnya. Y. Lengko seorang warga di Lamin Eheng (kecamatan Barong Tongkok, Kubar) mengungkapkan bahwa perjumpaan antara Katolik dan Dayak tidak ada masalah. Sebagian besar warga desa Eheng memeluk agama Katolik dan mereka tetap bisa menjalankan kebudayaan mereka. Sementara Junyung seorang Balian muda mengatakan bahwa dalam perayaan misa terutama hari-hari besar kesenian Dayak Benuag seperti tari Gantar dan Berijog (lagu) biasa dipakai sebagai bagian dari peribadatan.

Memang dalam tata perayaan ekaristi (terutama setelah konsili Vatikan ke II), bentuk-bentuk kesenian adat (tarian, lagu/syair dan alat musik) mulai dipakai sebagai gaya misa lokal (Indonesia). Misa dengan lagu-lagu bercorak Dayak kini menjadi bagian dari kehidupan peribatan di Kalimantan Timur. Demikian pula tari-tarian, pakaian adat dan simbol-simbol Dayak dengan mudah ditemukan dalam peristiwa peribadatan atau peristiwa lainnya dalam Gereja Katolik Kalimantan Timur. Saat perayaan misa peringatan 100 tahun, perarakan barisan konselebrans yang terdiri dari puluhan pastor dan uskup serta duta besar Vatikan (pro nuncius) menuju altar didahului dengan barisan panjang putra-putri Dayak dengan pakaian dan tarian yang mencerminkan keberagaman sub-sub suku yang disebut sebagai Suku Dayak. Petugas-petugas misa (petugas bacaan, pengumpul kolekte, pembawa derma, penerima tamu) juga menggunakan pakaian pakaian adat Dayak. Dari antara 15.000 umat yang hadir juga gampang ditemui anggota jemaat yang memakai pakaian adat Dayak. Namun benarkah pertemuan antara Katolik dan Dayak telah termoderasi?.

Suwila seorang Balian Bawe (Balian Perempuan) yang mempunyai nama dukun Putri Melak Hilir, menceritakan pengalamannya bahwa saat tidak menjalankan aktivitas sebagai Belian maka dia adalah orang Katolik, tetapi saat menjadi Belian maka kepercayaannya adalah kepercayaan adat/suku. Meski tidak menunjukkan adanya rivalitas tapi dalam sesungguhnya dalam diri sang Putri Melak Hilir ada dualisme kepercayaan yang sungguh berbeda. Rasau, kepala adat Benuag di desa Dermai, Kecamatan Damai, Kubar mengungkapkan bahwa agama adalah tambahan bagi adat. Dari pernyataan ini maka agama berada dalam posisi sub-ordinat dari adat. Sementara sebagian besar umat menganggap bahwa praktek-praktek adat terutama dalam bentuk Balian adalah praktek yang bertentangan dengan kepercayaan Kristen. Mama Pirin, warga Kenyah yang tinggal di Long Anai bahkan kerap mengatakan praktek seperti itu adalah praktek mereka saat masih kafir (belum Kristen). Dari kesaksian beberapa warga di Eheng, terangkum pernyataan bahwa Gereja Katolik (pastor) tidak pernah secara jelas-jelas melarang kegiatan itu. Bahkan seorang pastor dulu pernah disembuhkan lewat pengobatan Balian setelah penanganan secara medis tidak berhasil. Rudi Haryo AMZ seorang pencinta kebudayaan Dayak mengungkapkan bahwa Gereja memang tidak melarang tetapi menciptakan kondisi yang tidak mendukung tumbuh kembangnya praktik Balian. Dan memang karya missioner kesehatan dari gereja Katolik lewat yayasan Setia Budi (Rumah Sakit Dirgahayu, dll) secara jelas telah merubah orientasi medis masyarakat Dayak dari medis Balian ke arah medis Modern. Pak Yoseph yang merupakan tetua di Lamin Benum, Kecamatan Damai, Kubar, menyatakan bahwa Balian sudah jarang dilakukan di desanya karena kini mereka berobat ke dokter.

Gambaran diatas meski bukan merupakan riak besar dalam kehidupan iman masyarakat Katolik di Kalimantan Timur, namun tetap merupakan persoalan yang harus diselesaikan dalam konteks kepenuhan baik sebagai orang Dayak dan sekaligus Katolik (Dayak dan Katolik seutuhnya). Dualitas adalah persoalan dan sekaligus membingungkan. Supinah seorang Balian dari Suku Benuaq mengungkapkan kebingungan itu dengan pertanyaan ”Kenapa gereja yang satu (bisa juga umatnya) selalu mengusik profesi saya sebagai ”praktek orang hutan”, sementara Gereja yang lain (bisa juga umatnya) bersikap tidak ambil peduli?”. ”Bertolaklah ke tempat yang lebih dalam”, dalam kondisi seperti ini bisa dimaknai sebagai sebuah perintah misioner untuk menyelami keadaan secara lebih dalam, menembus ruang dan pergolakan batin sebagian masyarakat Dayak yang meski telah menjadi Katolik tetapi tidak memutus hubungan dengan tradisi, ritual dan keyakinan yang diwarisi dari nenek moyangnya. Gereja Katolik Kalimantan Timur telah membuktikan pertautan yang cukup manis dengan kebudayaan Dayak terutama berkaitan dengan seni baik musik (syair dan lagu), tari, pakaian dan simbol-simbol lainnya. Namun ruang dialog dan tranformasi teologi berkaitan dengan kepercayaan dan ritual warisan para leluhur masih harus terus dilakukan hingga tercapai ’kesepakatan’ tanpa semangat saling mengalahkan melainkan melahirkan sebuah generasi yang utuh baik sebagai orang Dayak yang sekaligus adalah Katolik. Bukankah ada adagium yang mengatakan ”Theologia semper reformanda” atau teologi harus terus menerus diperbaharui. Dengan demikian gereja lokal bukan semata-mata bercorak fisik tetapi secara lebih luas juga menjadi cemin penghayatan iman berbasis pada teologi lokal tanpa meninggalkan ajaran dan kepercayaan inti yang diturunkan oleh Tuhan Allah melalui Yesus putraNYA yang terkasih.

Gereja Lokal Mandiri
Setelah cukup lama menyusu dari kelompok missioner Eropa, pelan-pelan Gereja Katolik Kalimantan Timur mulai ’disapih’ agar bisa berdiri sendiri. Bantuan dari Eropa saat ini bisa dikatakan sudah tidak ada lagi, semua kebutuhan bagi pelayanan gereja harus diperoleh dan dikumpulkan sendiri. Para misionaris telah lama menyadari hal ini, Pastor Klein yang berkarya di Barong Tongkok dalam kenangan Pak Juventius dianggap telah mempersiapkan hal itu dengan mengembangkan unit produksi berupa kebun karet dan usaha perkayuan. Lebih lanjut Pak Juven menerangkan bahwa hasil dari usaha itu sangat membantu karya dan pelayanan Gereja terutama dalam hal pendidikan dimana para guru bisa memperoleh kesejahteraan yang cukup. Namun sayangnya saat ditinggalkan oleh Pastor Klein justru terjadi miss manajemen yang mengakibatkan kebun menjadi tidak terurus bahkan dijual dan pohon yang tersisapun kini telah ditebang. Kini kondisi guru di sekolah yang dikelola yayasan Katolik memprihatinkan. Bahkan ada sekolah yang ditutup dan digabungkan dengan SD Negeri karena yayasan tak mampu menanggung beban operasional. ”Salah satunya adalah SDK di Eheng tempat saya mengajar”, katanya.

Sharing pengalaman dan ungkapan hati dari Pak Guru ini harusnya menjadi catatan tersendiri bagi upaya gereja Katolik Keuskupan Samarinda dalam usahanya menjadi Gereja yang mandiri. Bagi paroki-paroki besar yang ada di perkotaan mungkin tidak masalah karena jumlah uang kolekte (derma) dan sumbangan lainnya dari jemaat, jumlahnya akan cukup besar untuk menopang jalannya pelayanan gereja. Namun sebagian besar umat dan wilayah gereja Keuskupan Agung Samarinda adalah umat yang sederhana (bahkan miskin) dan berada di pedalaman, maka sulit untuk bisa memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa uluran tangan dari luar. Unit-unit pelayanan yang berada di bawah payung gereja karena dimaksudkan sebagai bentuk pelayanan maka kemungkinan untuk menghasilkan keuntungan finansial juga kecil. Bahkan unit pelayanan pendidikan misalnya kini berada dalam kondisi yang kritis karena umumnya pemerintah daerah di Kalimantan Timur memberikan subsidi atau bantuan kepada sekolah untuk membebaskan siswa dari biaya pendidikan (SPP). Saat ini sulit bagi sekolah Katolik terutama di pedesaan untuk menarik SPP yang tidak seragam (sebagai bagian dari subsidi silang), namun bila dirata-rata maka jumlah yang dikumpulkan bisa jadi tidak cukup untuk menanggung beban operasional sekolah katanya lebih lanjut.

Sekelumit kisah diatas bisa menunjukkan bahwa tantangan untuk menjadi Gereja Lokal yang mandiri sungguh tidak gampang. Karya dan wilayah pelayanan baik iman maupun sosial terbentang dalam wilayah yang luas dan terpencar sehingga dibutuhkan mobilisasi baik sumberdaya manusia maupun dana yang besar. Bagaimana dan darimana hal itu bisa dipenuhi bisa jadi masih merupakan pergulatan yang belum menampakkan titik terang.

Memandang 100 Tahun Ke Depan
Ismail Thomas SH, bupati Kutai Barat mengakui bahwa karya pelayanan gereja Katolik yang sangat menonjol dan memberi sumbangsih yang besar adalah pendidikan, kesehatan dan upaya pengetasan kemiskinan yang berbasis masyarakat. Harapannya adalah umat Katolik bisa menjadi contoh dan tauladan dalam memupuk keimanan dan menjalin persaudaraan baik antar sesama maupun dengan umat lainnya, selain dari pada itu momentum 100 tahun ini hendaknya bisa menjadi tonggak bagi upaya revitalisasi dan transformasi diri berhadapan dengan tantangan jaman baik saat ini maupun masa mendatang.

Masyarakat Dayak sebagai bagian terbesar dari umat Katolik di Kalimantan Timur masih terus dicitrakan negatif sampai saat ini. Citra yang direpuduksi oleh para pelancong, peneliti dan kolonialis barat terus masih bertahan, bahkan dalam masa pasca kemerdekaan para penyiar agama, birokrat dan cerdik pandai (kaum terdidik) masih saja terjebak dalam strerotype yang sama. Kebijakan pembangunan sampai saat ini juga belum berpihak pada mereka, bahkan usaha pembangunan sektor wisata jika tidak segera dikritisi bisa terus melanggengkan image, pencitraan dan menghadirkan kenyataan yang tidak lagi ada untuk menarik perhatian wisatawan. Masyarakat Dayak saat ini pada umumnya juga masih punya kaitan erat dengan hutan dan pertanian (perladangan) untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Namun degradasi lingkungan (deforestrisasi) sungguh luar biasa. Pembukaan hutan untuk HPH dan tambang telah merusak sumber-sumber kehidupan mereka dan dampak lingkungan (bencana) semakin menyulitkan perjuangan kehidupan untuk memperoleh kesejahteraan. Junyung seorang pengrajin anyaman rotan mengatakan bahwa rotan harus dibeli karena persedian di hutan sekitar tempat tinggalnya tidak ada lagi. Sementara Pak Yoseph menceritakan bahwa masyarakat petani kini harus bermigrasi, tapi bukan ke kota melainkan lebih ke pedalaman agar bisa mendapat lahan yang baik untuk lokasi pertanian (perladangan).

Mgr. Sului menegaskan bahwa tantangan bagi Gereja Katolik Keuskupan Samarinda dalam 100 tahun ke depan bukan lagi lebatnya hutan, binatang buas, penyakit malaria/TBC/dll, penolakan komunitas Dayak terhadap iman Katolik dan komunikasi melainkan kondisi-kondisi yang berkembang secara aktual akibat gempuran kepentingan baik ekonomi maupun politik yang bisa menyebabkan kondisi umat dan masyarakat menjadi terpuruk. Gereja baik secara institusi maupun persekutuan harus membuktikan diri bisa menjadi jalan keselamatan lewat terbentuknya masyarakat yang sejahtera dan berkeadilan.

Iman atau kepercayaan dalam fitrahnya adalah sebuah jalan pemerdekaan tanpa kekerasan. Sejarah siar agama (misi dan dakwah) di masa lalu mungkin juga masih tersisa saat ini tidak lepas dari jejak penahklukan (kolonisasi) atas sistem maupun praktek peradaban lokal. Banyak sekali sikap hidup, nilai dasar dan praktek/pengetahuan/kebijakan lokal suku Dayak (dan tentu saja suku-suku lainnya) yang bisa disumbangkan bagi terwujudnya praktek keberimanan yang memerdekakan. Iman sebagai siasat untuk menghadapi tantangan jaman adalah praksis yang merefleksikan ajaran kitab suci, iman, tradisi agama dan lokal (suku/adat) untuk mendayagunakan segenap potensi perubahan jaman menuju tegaknya nilai-nilai : kemerdekaan, persaudaraan, keadilan/kesejahteraan sosial dan kerakyatan. Ad Multos Annos, Selamat merayakan 100 Tahun Gereja Katolik Keuskupan Agung Samarinda.

2 komentar:

  1. Anonim mengatakan...
     

    Posting yang bagus Yus, tapi mungkin depe alinea diatur lagi, kalu talalu rapat terkesan terlalu padat....

    keep posting kong jangan lupa bale ke Mdo, he..he

  2. Anonim mengatakan...
     

    Semua KEBOHONGAN DAN KESESATAN ISLAM DIUNGKAPKAN DI BLOG INI -> BLOG MANTAN MUSLIM INDONESIA (klik disini)

Posting Komentar