Tentang Berbagi

Hidup adalah rangkaian perjumpaan. Setiap perjumpaan membawa pengalaman entah berupa pengetahuan, ketrampilan, kebijakan atau apapun itu. Semua adalah sebuah pembelajaran yang layak untuk dibagikan. Berbagi menunjuk pada hati yang penuh syukur. Syukur bukan hanya kebajikan yang terbesar, melainkan merupakan induk dari kebajikan lainnya.(yoesthie_2000@yahoo.com)

SEKADAR KATA

Bagi beberapa orang, berpikiran negatif merupakan kebiasaan, yang sejalan dengan berlalunya waktu akan menjadi kecanduan. Seperti penyakit kecanduan alkohol, berlebihan makan, kecanduan obat terlarang. Banyak orang menderita akibat penyakit ini karena berpikiran negatif akan merusak tiga hal yaitu jiwa, tubuh dan perasaan.(Peter Mc Williams)

HUTAN HILANG, BANJIR TERBILANG

Hujan bagi bumi adalah sebuah nyanyian, ritme-nya menjadi sebuah nada indah yang menghantar pada kesejukan. Coba ingat, bukankah dulu sewaktu duduk di bangku sekolah dasar kita kerap menyanyikan lagu indah “Kalau hujan sore-sore”, atau “tik-tik bunyi hujan diatas genting”. Hujan sungguh melodic, membasahi bumi untuk menumbuhkan tanaman, mengantar petani pada sukaria kehidupan karena padinya akan tumbuh subur.
Tapi kini semua telah berubah. Tiap kali rintik hujan berdetak, hati juga menghentak. Cemas merasuk ketika gemuruh hujan tiada henti. Perlahan mulai kita mendengar berita, seberapa besar curah hujan, dimana air telah mengenang, seberapa tinggi atau adakah longsor di daerah yang hendak kita lalui. Hujan bak banteng terluka, mengamuk dan menyeruduk kesana-kemari memporakporandakan kawasan disekitarnya. Adakah hujan telah bermetamorfosis?.
Di tengah berita kekeringan pada beberapa wilayah, tiba-tiba saja menyeruak berita bahwa Bolmong (Induk, Selatan dan Timur) terancam tenggelam. Delapan belas sungai meluap karena tak sanggup mewadahi curahan air yang mengalir lewatnya. Bagi Bolmong bajir bisa jadi sebuah anomaly atau bahkan antagonism. Bukankah Bolmong dikenal sebagai daerah yang mempunyai hutan paling baik di Sulawesi Utara?. Tapi kenapa banjir justru kerap melanda daerah di sekitar kawasan hutan itu.
Ada sebuah adagium, alam akan berlaku sebagai mana orang atau sekelompok orang berperilaku padanya. Ini bukan sebuah pembalasan tetapi adalah sebuah konsekwensi. Bukaan di kawasan hutan yang semakin meluas membuat hujan langsung jatuh menghantam tanah dan kemudian meluncur deras ke daerah yang lebih rendah. Tak ada lagi daun, ranting dan dahan yang menahan aliran hujan, agar tertanam dan masuk terserap di dalam tanah. Sisa-sisa air yang tertahan di pepohonan juga akan menguap ketika panas tiba. Dengan bukaan yang semakin lebar, semakin sedikit air yang terserap dan yang menguap.
Semua orang rasanya paham bahwa hutan adalah lumbung penyimpan air, berfungsi menahan hujan, menyimpan air dan mengalirkan melalui mata air, anak sungai sehingga warga bisa memanen air untuk dimanfaatkan baik sebagai irigasi maupun kebutuhan lainnya. Hutan adalah tempat, wilayah dan posisi yang pas untuk menanam air. Tapi gambaran kita tentang hutan barangkali tidak begitu. Hutan mungkin lebih mirip ATM, mesin penghasil uang tunai. Hutan tereduksi menjadi petak atau kavling yang bisa dibabat dan digali entah untuk diambil kayunya atau bahan-bahan mineral yang terkandung didalamnya.Kini kita terbiasa menghitung ruang hutan dengan angka, volume dan uang yang mungkin didapat darinya.
Banjir terus berulang, bahkan semakin cepat datang dan kian parah. Namun wajah hutan tak juga kian menghijau meski bermilyard rupiah telah digelontorkan untuk memulihkannya. Nafsu untuk mengerogoti dan mengalihfungsikan hutan untuk memupuk pundi-pundi pendapatan bahkan kian membesar. Padahal ketika banjir bandang melabrak, tak jarang muncul suara yang mengatakan bahwa semua terjadi karena kekurang sadaran masyarakat sekitar terhadap lingkungan. Benarkah demikian?. Tak tentu sebab tenggok saja, mereka yang sawah dan rumahnya terendam sebagian besar atau bahkan mayoritas bukanlah perusak hutan. Petani takkan mungkin merusak hutan, karena sawah mereka sangat tergantung pada sungai yang mata airnya bersumber dari hutan. Mereka kini menjadi korban yang tidak berdaya saat berhadapan dengan alam, padahal bukan mereka yang melawan alam.
Banjir, longsor, jembatan putus, jalan putus, rumah hanyut dan kerusakan lainnya tidak sekedar penampakan sebuah kejadian tetapi juga wajah ketidakadilan. Mereka yang terkena dampaknya bisa jadi adalah orang-orang yang turut dan peduli merawat alam. Sementara disisi lain mereka yang pundi-pundi rupiahnya kian besar, justru tak tersentuh sama sekali oleh prahara. Bisa jadi kini mereka tengah berada di atas pesawat, tinggal di kamar hotel mewah, minum kopi di caffe sambil melakukan deal-deal bisnis mereka.
Kerusakan alam di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone erat berkaitan dengan kebijakan. Entah apakah ‘negara’ dan rezim pemerintahnya hadir disana atau tidak. Perambahan terus terjadi di depan mata. Istilah penambang liar misalnya menjadi tidak lagi berarti, karena tampak dengan kasat mata dan seolah-olah tidak menjadi ‘liar’ lagi. Bunyi gergaji mesin yang mengiris pepohonan sebenarnya juga mudah didengar, bahkan seakan-akan mengejek kuping yang mendengarnya.
Konyol nampaknya. Kombinasi antara ketamakan dan kebijakan yang simpang siur serta penegakan yang selalu terhambat dengan alasan sumberdaya menjadikan hujan berubah bak monster bagi para petani yang tengah menunggu panen padinya. Bencana tak lagi menjadi pengingat bagi mereka yang terus memperkosa bumi dan seisinya. Responnya cukup dengan menghitung kerugian, mengungsikan di tempat yang aman, memberi bantuan dan bahkan mengelontorkan sejuta nasehat untuk menghormati lingkungan.
Bumi, alam mempunyai ritme, intimitas, kejutan dan keterpautan yang erat dengan manusia. Namun kini semakin tidak dikenali dan dipedulikan lagi. Lewat hujan, bumi berbicara dengan kita tentang bagaimana sikap kita terhadapnya. Harusnya hujan adalah nyanyian yang aman. Tapi mungkin sebuah harap yang terlalu tinggi apabila saat ini ketika hujan dasyat mengelontor, pohon-pohon akan nampak semakin menghijau karena debu yang menutupi dedaunan tersaput lembut titik-titik air dari langit itu.

0 komentar:

Posting Komentar