Bebas Dari Cengkeraman Migas
Pasangan suami istri Alfritz Menayang (55 th) dan Debby Keintjem (39 th) setiap hari terus berkutat dengan campuran tanah dan sekam bakar untuk membuat karya berupa sebuah tungku. Tungku yang menurutnya ’hemat energi’ karena tidak membutuhkan banyak kayu bakar. ”Kayu-kayu yang kita ambil dari kebun sekitar rumah, sudah cukup untuk menjadi bahan bakar bagi tungku ini”, katanya.
Niatan untuk membuat tungku muncul sepuluh tahun yang lalu. Saat itu datang seseorang untuk menjual tungku ke kampung Sendangan, Sonder. Tungku yang ternyata dibuat oleh orang Bali di Doloduo itu, dipandang mahal harganya oleh orang kampung. Pak Alfritz kemudian tertarik untuk belajar membuat tungku dari sang penjual dengan harapan bisa menghasilkan tungku yang lebih murah harganya. ”Sekarang sudah ada 9 orang yang membuat dan menghasilkan tungku di desa Sendangan ini, dan rata-rata setiap tempat mempekerjakan 4 orang”, ceritanya lebih lanjut.
Ibu Debby meyakinkan bahwa tungku yang dihasilkan oleh mereka disamping hemat energi juga aman. ”Belum pernah ada kabar rumah terbakar karena tungku ini.” katanya. ”Api tungku ini tidak akan kemana-mana, pokoknya tidak seperti dodika”, lanjutnya. Masih menurutnya, alat-alat dapur yang dipakai untuk memasak juga tidak akan berjelaga jika diletakkan secara tepat.
Langkanya minyak menjadi berkah tersendiri bagi mereka. ”Kita sampai kehabisan stock” tutur Pak Alfritz. Padahal dalam sebulan mereka bisa menghasilkan kurang lebih seribu buah tungku. Ada 4 model tungku yang dihasilkan oleh mereka. Yaitu tungku untuk memasak, tungku untuk membakar, tungku campuran memasak dan membakar dan tungku ukuran besar untuk rumah makan serta pesta-pesta. Maka wajar jika tungku ’Sonder’ ini telah menyebar ke pelosok Sulawesi Utara, bahkan tembus sampai Gorontalo, Tobelo, Kalimantan dan Irian. Apa yang dikatakan oleh Pak Alfritz memang bukan bualan belaka. Saat perbincangan dilakukan, sebuah mobil bak terbuka tengah menaikkan puluhan tungku keatas bak mobil. Menurut pemiliknya tungku ini akan dibawa ke Bolaang Mongondow. Mereka pergi menjual tungku dan pulang membeli beras. ”Tungku sebanyak ini akan habis dalam satu hari”, kata mereka menyakinkan. Lancarnya penjualan membuat Pak Alfritz memperoleh penghasilan bersih antara 5 s/d 6 juta rupiah perbulan yang akan dibagi rata berempat.
Ditanya soal rencana percepatan konversi minyak tanah ke gas. Bagi Pak Alfritz itu bukan sebuah masalah. Baginya itu hanya akan terjadi untuk masyarakat perkotaan, sehingga tidak menganggu sasaran pemasaran produknya yaitu masyarakat pedesaan. Tapi menyangkut kenaikan harga BBM akan berimbas pada peningkatan biaya produksi, karena sekam bakar harus didatangkan dari Langowan atau Tumpaan.
Berawal dari niatan kecil dan sederhana, yaitu menghasilkan sebuah produk tungku yang murah. Pak Alfritz dan teman-temannya telah membantu ribuan rumah tangga terutama ibu-ibu lepas dari himpitan harga minyak tanah yang kian melambung dan langka. Lewat pencahariannya Pak Alfritz telah menyumbangkan peran besar dalam mendukung terwujudnya masyarakat mandiri energi. Jika semakin banyak orang menggunakan tungku hemat energi dampak positifnya adalah penurunan tingkat konsumsi kayu bakar. Sehingga laju pengrusakan hutan akan berkurang. Erosi , pendangkalan sungai, banjir dan berbagai dampak lainnya akan berkurang pula. Dan akhirnya, kondisi lingkungan diharapkan akan dapat terus terjaga. (yoesthie*).
0 komentar:
Posting Komentar