Tentang Berbagi

Hidup adalah rangkaian perjumpaan. Setiap perjumpaan membawa pengalaman entah berupa pengetahuan, ketrampilan, kebijakan atau apapun itu. Semua adalah sebuah pembelajaran yang layak untuk dibagikan. Berbagi menunjuk pada hati yang penuh syukur. Syukur bukan hanya kebajikan yang terbesar, melainkan merupakan induk dari kebajikan lainnya.(yoesthie_2000@yahoo.com)

SEKADAR KATA

Bagi beberapa orang, berpikiran negatif merupakan kebiasaan, yang sejalan dengan berlalunya waktu akan menjadi kecanduan. Seperti penyakit kecanduan alkohol, berlebihan makan, kecanduan obat terlarang. Banyak orang menderita akibat penyakit ini karena berpikiran negatif akan merusak tiga hal yaitu jiwa, tubuh dan perasaan.(Peter Mc Williams)

Rajin Berdoa, Tapi Korupsi Juga!!!

Siapa yang bisa menentang kenyataan bahwa kita adalah bangsa yang agamis. Hampir tak ada satu orangpun yang terang-terangan menyatakan dirinya tidak memeluk satu agamapun baik agama yang resmi diakui negara maupun yang tidak. Rumah ibadah ada dimana-mana. Dan kalau saja pendirian rumah ibadah tidak perlu ijin kanan-kiri niscaya jumlahnya akan lebih banyak lagi. Pada hari-hari ibadah wajib, rumah ibadah tak pernah sepi dari jemaat, kadang meluber sampai halaman bahkan. Fenomena ekspresi keagamaan secara ritual emang luar biasa dan dasyat. Lihat saja iklan-iklan peribadatan di koran atau majalah tak kalah banyaknya dengan iklan lainnya. Kelompok atau group-group yang merujuk pada peribadatan, pendalaman kitab suci dan lainnya terus tumbuh dimana-mana. Saking bersemangatnya tempat apapun kini bisa dijadikan ”rumah ibadah-doa”, jadi jangan heran kalau kini banyak orang berdoa di ruko, mall, sport hall, hotel, aula dan bahkan lapangan bola serta tempat-tempat rekreasi. Jadi slogan Siapa, Kapan dan Dimana saja kini bukan hanya milik Coca Cola.

Sejauh ini memang belum ada lembaga survey yang melakukan pemeringkatan bangsa-bangsa atas dasar kerajinan ibadah dan doa. Tapi andai saja ada pasti Indonesia akan masuk peringkat atas, peringkat yang mungkin membuat kita bangga karena beberapa tahun terakhir ini kita minim prestasi internasional. Namun memang untuk urusan ibadah dan doa sebaiknya tidak ada peringkat. Justru biar tidak memalukan karena kita tiap tahun selalu masuk dalam urutan tinggi dalam survey TI (Transparency International) untuk urusan korupsi. Kalau keduanya diumumkan sama-sama mau ditaruh mana muka kita, masak “Piala Juara Doa” disandingkan dengan “Piala Juara Korupsi” pada meja yang sama.

Dalam masyarakat beragama, korupsi tidak sekedar bermakna penyelewengan, penyalahgunaan wewenang dan kriminal, melainkan juga sebuah keberdosaan. Berdosa karena perilaku korupsi membuat orang lain sengsara dan membuat diri pelakunya tidak menjadi manusia sepenuhnya. Perbuatan korupsi jelas melawan ajaran, kehendak dan perintah ”Sang Dia” yang kita puja dan puji lewat doa-doa kita. Korupsi adalah perbuatan yang dilaknat Allah sejak sediakala, sebagaimana dititahkan kepada Nabi-NYA “Janganlah kamu menerima suap, yang membutakan orang bijak dan membengkokkan kata-kata orang yang adil”. Tapi Allah memang tidak kelihatan dan mungkin murka serta hukuman dariNYA tak selalu mengena kita, maka korupsi tetap saja merajalela dimana-mana. Tetapi sekalipun dilaknat oleh Allah toh korupsi tetap saja merajalela di mana-mana. Tumbangnya rezim orde baru yang dianggap korup justru menjadi pupuk penyubur korupsi sampai ke daerah-daerah seiring dengan program desentralisasi kekuasaan lewat otonomi daerah. Ada semacam gurauan yang mengatakan kalau di masa orde baru, korupsi terjadi di bawah meja (sembunyi-sembunyi); sedangkan di masa reformasi korupsi tidak lagi sembunyi-sembunyi karena mejanya sudah dibawa lari (sudah dikorupsi juga).

Dalam pengertian yang spesifik, korupsi adalah tindakan merugikan keuangan negara dengan cara tidak sah untuk keuntungan diri sendiri maupun kelompok. Tapi secara luas korupsi tidak bermakna soal uang atau kerugian negara belaka. Korupsi hadir dalam banyak wajah (multifacet) dan dalam berbagai tingkatan baik diwilayah publik maupun privat. Di kelompok golongan rendahan bisa ditemui istilah uang semir, uang pelicin, sogok, suap, uang lelah, uang rokok, uang bensin, uang kopi, uang administrasi, uang foto kopi, uang transport sampai (istilah Parni Hadi) susu tante (sumbangan sukarela tanpa tekanan). Di level atau kelas lebih tinggi, istilahnya bisa lebih keren, seperti fee, komisi, bagi hasil, sumbangan rekanan, biaya konsultasi, entertaint, pengembalian proyek, saving, dan lain-lain yang umumnya tidak lagi dalam bentuk tunai. Karena tidak tunai maka nilainya bisa sangat besar, entah dalam bentuk saham, barang mewah, tiket atau voucher liburan, cek, kontrak proyek, lahan, rumah dan kalau perlu perempuan alias senang-senang.

Proses korupsi sendiri tidak selalu berbau uang, tetapi akhirnya akan berkaitan dengan UUD atau ujung-ujungnya duit. Persis dengan slogan uang bukan segalanya, tapi tak akan ada segala sesuatu tanpa uang. Jika segala sesuatu butuh uang, namun kemudian uang itu ‘disunat’ maka jelas yang akan menjadi korban adalah soal waktu, tenaga dan kwalitas baik barang maupun jasa yang dihasilkan olehnya. Apabila itu gedung, maka gedung itu hanya megah di saat peresmian dan tak lama kemudian ongkos pemeliharaan dan perbaikan akan jauh lebih besar daripada untuk membangunnya. Kalau itu jalan maka masa penggunaannya jadi lebih pendek dan akan merugikan penggunanya. Kalau itu buku pelajaran maka isinya tak layak dijadikan bahan ajar. Kalau itu Surat Ijin Mengemudi, maka tak akan menjamin pemegangnya tahu sopan santun berlalu lintas. Kalau itu keputusan pengadilan, maka tak membuktikan bahwa menang berarti benar atau tidak bersalah. Kalau itu gelar kesarjanaan, maka tak akan otomatis pemegangnya mempunyai nalar intelektual. Dari sini jelas bahwa satu tindakan korupsi akan melahirkan efek berantai dan sangat merugian di kelak kemudian hari.

Sekarang jika kita kembali ke soal doa atau ibadah, jangan-jangan juga sudah terkena virus koruptif. Buktinya, kerajinan (bahkan keranjingan) melakukan ritual keagamaan ternyata tidak menghasilkan kekuatan kolektif dan korektif atas perilaku koruptif dari warga negara ini. Kalaupun ada kesalehan, ternyata justru muncul dalam bentuk toleransi atas kong kali kong, persekutuan busuk dan tahu sama tahu – TST yang membuat korupsi seakan-akan menjadi way of life dari bangsa ini seperti halnya kehidupan keberagamaan. Maka tak usah heran, jika pejabat yang saat kampanye mulutnya berbusa dengan janji mewujudkan good and clean governance, kemudian dilantik dan disumpah di hadapan rakyat (karena disiarkan televisi) tak lama kemudian tega membohongi rakyatnya dengan lebih dahulu ‘merampok’ kekayaan daerah atau negara, dan kalau ada sisa baru dibagi-bagikan kepada rakyatnya. Saking teganya, konon proyek-proyek atau kegiatan yang berkaitan ada kaitan dengan meningkatkan hidup dan kwalitas keagamaan juga tak lepas dari bau-bau korupsi.

Semangat dan niat untuk memberantas korupsi dari pemerintah saat ini boleh jadi sangat besar dan patut dihargai. Perangkat undang-undang, kelembagaan atau pengorganisasian, prosedur dan pendanaan boleh dibilang juga lumayan. Tapi semua tidak akan bermakna jika tidak disertai oleh kreatifitas dan inovasi dalam pelaksanaan. Sebab jika penyelidikan atau penyidikan atas korupsi dijalan seperti memeriksa perilaku kriminil pada umumnya maka tak akan banyak kasus korupsi bisa diselesaikan di muka pengadilan dengan cara yang memuaskan dan memenuhi asas rasa keadilan masyarakat luas. Korupsi di Indonesia, entah karena kelihaian pelakunya atau sebab lainnya, sebagian besar sulit untuk dicari buktinya. Ibarat kentut, kita bisa mencium baunya, tapi sulit untuk memastikan siapa yang menghembuskan bau busuknya.

Pengalaman baik dari negara ini maupun negara-negara lain telah membuktikan bahwa korupsi tidak bisa dihapus dengan segera dan serta-merta. Perlu usaha bertahap dan kesabaran yang luar biasa, yang bisa dimulai dari diri sendiri. Lee Kuan Yew, secara heroik memulai dari dirinya sendiri (dari atas) dan setelah puluhan tahun baru bisa membuat Singapura lumayan bersih. Republik Rakyat Cina telah mengirimkan 100-an koruptor ke akhirat dengan peti mati yang disediakan sang Presiden, tapi belum juga bisa dikatakan berada dalam kondisi ideal. Kita bersama berharap bahwa iklim demokrasi dan niat pemerintah untuk mewujudkan ‘clean and good governance’ bisa perlahan membersihkan Indonesia dari kabut korupsi. Tapi dengan prasyarat bahwa seluruh rakyat harus turut mengawal kinerja demokrasi kita. Sebab (kembali meminjam istilah dari Parni Hadi) demokrasi bisa jadi berarti yang gede diemek-emek, yang kecil dikerasi (yang besar dielus-elus, yang kecil digencet) atau gede montok tak berisi ( orangnya tinggi besar, tapi otaknya tak berisi).

Akhir kata, tulisan ini sama sekali tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa doa-doa kita tidak ada artinya dan juga tak hendak mengajak kita untuk mengurangi intensitas peribadatan saudara-saudari sebangsa dan setanah air Indonesia. Konon menurut berita, di kawasan Skandinavia, tepatnya di Finlandia sebuah negeri yang sumberdaya alamnya sangat tidak variatif tapi mempunyai pendapatan perkapita yang termasuk sebagai salah satu terbaik di dunia, tingkat kriminalitasnya hampir nol dan korupsinya juga mendekati nihil. Kondisi ini bisa dikaitkan dengan sebagian penduduknya yang dikenal sangat religius, sehingga rumah-rumah ibadah tetap penuh meskipun salju turun amat lebat dan suhu mencapai minus 30 derajat celcius. Semangat religius ini menghasilkan spirit kolektif untuk hidup sederhana, tidak suka memupuk banyak kebutuhan dan tidak melirik barang-barang yang bukan miliknya. Spirit seperti inilah yang akhirnya menjadi hukum bisa menjadi kekuatan korektif kolusi, penyuapan, uang semir dan tindakan-tindakan kriminal lainnya. Hasilnya roda ekonomi berjalan dengan lancar dan mengalami pertumbuhan sehingga negara yang sebenarnya bermodal pas-pasan ini mampu tumbuh menjadi negara kaya dan rakyatnya sejahtera. Singkat kata, kita sebenarnya sudah punya modal pertama, yaitu masyarakat religius atau agamis, kini saatnya tinggal kita melangkah untuk memupuk modal kedua yaitu mulailah malu untuk korupsi, malu mengambil uang atau kekayaan masyarakat-rakyat-negara, uang atau kekayaan yang bukan merupakan hak kita. Kesempatan untuk menjadikan negeri ini nir korupsi masih terbuka lebar untuk kita. Selamat berdoa dan tinggalkan korupsi mulai sekarang juga.

1 komentar:

  1. Anonim mengatakan...
     

    Memang aneh-aneh tingkah polah para koruptor, misalnya ada salah seorang pejabat yang sedang diperiksa keterlibatannya dalam satu kasus penyelewengan terus akhir-akhir ini rajin shalat malam sekeluarganya.

    dan adalagi yang terus berangkat umrah, kata kerabatnya beliau meminta bertobat dan meminta ridha Allah.

    Kog sama kita-kita malah gak mau minta maaf ya?

Posting Komentar