Tentang Berbagi

Hidup adalah rangkaian perjumpaan. Setiap perjumpaan membawa pengalaman entah berupa pengetahuan, ketrampilan, kebijakan atau apapun itu. Semua adalah sebuah pembelajaran yang layak untuk dibagikan. Berbagi menunjuk pada hati yang penuh syukur. Syukur bukan hanya kebajikan yang terbesar, melainkan merupakan induk dari kebajikan lainnya.(yoesthie_2000@yahoo.com)

SEKADAR KATA

Bagi beberapa orang, berpikiran negatif merupakan kebiasaan, yang sejalan dengan berlalunya waktu akan menjadi kecanduan. Seperti penyakit kecanduan alkohol, berlebihan makan, kecanduan obat terlarang. Banyak orang menderita akibat penyakit ini karena berpikiran negatif akan merusak tiga hal yaitu jiwa, tubuh dan perasaan.(Peter Mc Williams)

Taman Nasional Kutai : Kawasan Lindung yang Kian Limbung

Laju deforestrisasi Indonesia tercatat sebagai salah satu yang tercepat didunia. Proses ini tidak sekedar berlaku di hutan alami melainkan juga menimpa kawasan lindung. Beberapa kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan lindung bahkan kala di jaman pemerintahan kerajaan dan kolonial Belanda kini mengalami penyusutan luasan yang luar biasa besarnya. Hal ini menjadi sebuah kontradiksi dan ironi yang tersendiri ditengah tingginya kesadaran masyarakat dunia terhadap enviromental governance.

Sebuah kawasan hutan dipilih dan ditentukan sebagai daerah perlindungan atau tertutup karena dipandang mempunyai fungsi sebagai tempat untuk menyangga kehidupan umat manusia, merawat atau mengawetkan satwa/tumbuhan dan fungsi lain yang berkaitan dengan iklim serta potensi di masa depan. Kebijakan semacam ini dikenal dalam berbagai istilah seperti suaka margasatwa, taman nasional, cagar alam, hutan lindung, hutan adat dan lain sebagainya. Kecuali untuk hutan adat, lewat kebijakan pemerintah jutaan hektar kawasan lindung didasari oleh instrumen kebijakan untuk memastikan agar fungsi alamiahnya terjaga. Puluhan perangkat hukum dihadirkan mulai dari peringkat hirarki tertinggi yaitu Undang-Undang, Peraturan Pemerintah hingga peraturan dalam tingkat lokal seperti perda.

Lewat seperangkat kebijakan dan institusi pendukungnya diharapkan bisa melindungi, menjaga dan membentengi kawasan lindung dari tekanan pihak luar sehingga tidak dijamah, dijarah, dieksploitasi apalagi dirusak. Namun hukum ternyata sekedar menjadi hukum dan bukan menuntun pada ketaatan. Kawasan lindung dari hari ke hari terus mengalami tekanan baik karena kebijakan sesaat pelaku pemerintahan, investasi swasta maupun perilaku destruktif masyarakat/penduduk baik di sekitar kawasan dan atau yang bermigrasi ke sana. Tekanan berat sebagaimana dilaporkan atau diberitakan terjadi dalam bentuk penebangan liar, konversi lahan untuk pertanian-perkebunan-tambang bahkan pemukiman, tumpang tindih peruntukkan, pemberian hak pemanfaatan hutan, kebakaran (atau pembakaran) dan lain sebagainya. Akibat tekanan yang sedemikian berat dan meluas maka seakan-akan fungsi sebagai kawasan lindung menjadi tidak efektif lagi. Kondisi seperti ini justru memancing sementara pihak untuk memberi jalan keluar dengan membebaskan secara permanen kawasan tersebut dari fungsinya sebagai daerah perlindungan. Rupanya turunnya mutu lingkungan dalam bentuk kekeringan, iklim yang berubah-ubah, kwalitas udara yang menurun, sungai yang makin dangkal dan bencana banjir serta longsor tidak cukup mampu untuk mengerem nafsu kita mengebiri kawasan lindung.

Komitment Sekaligus Pengorbanan
Penetapan sebuah kawasan lindung tidak sekedar menuntut komitment saja melainkan juga butuh sebuah pengorbanan. Pengorbanan yang jika dihitung dengan rupiah memang tidak murah. Komitment tanpa pengorbanan hanya akan membuat penetapan kawasan lindung menjadi pepesan kosong belaka. Bukan satu dua kali kita menyaksikan atau bahkan turut mendeklarasikan komitment untuk menjaga kelestarian hutan lewat berbagai program dan gerakan. Salah satu contoh yang terbaru adalah gerakan penanaman sejuta pohon. Lewat gerakan ini pemerintah dan masyarakat bersama-sama ingin menghijaukan kawasan-kawasan kritis agar kembali kepada fungsi alamiahnya semula. Tapi bagaimana hasil dan mutunya?.

Mugkin kita perlu belajar dari pengorbanan individu dan kelompok masyarakat (termasuk masyarakat adat) dengan kesadaran yang dalam mulai melakukan pemulihan kawasan dan atau secara swadaya menetapkan serta menjaga sebuah kawasan sebagai daerah perlindungan. Mereka tidak tergoda untuk mengeruk kepentingan ekonomi sesaat dari sumberdaya yang ada di hadapan mereka.

Pembukaan jalan yang membelah kawasan lindung yang dimaksudkan untuk menembus isolasi dan menghemat biaya pembangunan jalan ternyata harus dibayar mahal. Dimana-mana jalan raya selalu merupakan magnet yang merangsang masyarakat bermigrasi untuk mengembangkan kegiatan perekenomian dalam arti seluas-luasnya di sepanjang lajurnya. Jalan membuka pintu masuk bagi kegiatan perambahan yang memungkinkan pelakunya menembus sampai tempat-tempat yang terdalam.

Paduan antara kebijakan yang tidak hati-hati dan penyakit ’lapar tanah’ dari investor serta masyarakat tak pelak lagi telah merubah wajah kawasan lindung. Jika ini dipersoalkan segera saja akan muncul logika ’terlanjur’, artinya karena terlanjur susah untuk dikembalikan kepada fungsi semula maka sekalian saja dialihkan fungsinya secara permanen. Soal alasan pembenarannya tentu saja mudah dicari kemudian dan yang paling mudah tentu saja yang berbau pembelaan terhadap hak dan kepentingan masyarakat lokal (semangat kebijakan populis).

Jutaan dollar dana dari luar negeri entah lewat NGO internasional dan kerjasama antar pemerintah telah digelontorkan pada berbagai proyek perlindungan dan pengelolaan kawasan lindung. Namun sekali lagi hal itu terbukti tak cukup untuk melindungi kawasan lindung dari berbagai tekanan. ’Pengorbanan’ dunia internasional lewat dana-dana lingkungan tak akan berarti jika kita sebagai pemilik tidak melakukan pengorbanan yang sama. Proyek-proyek yang mencatat sederet cerita sukses, publikasi dan penghargaan dimana-mana segera hanya akan menjadi cerita saja begitu usai usia proyeknya. Insitusi lokal (baik pemerintah, semi pemerintah maupun non pemerintah) segera akan mandul begitu tak lagi menerima kucuran dana dari pihak donor. Dan kembali permainan kekuasaan, kekuatan otot dan kepentingan ekonomi sesaat yang akan tersaji kembali.

Melindungi Kekayaan Yang Tersembunyi
Dalam artikel yang ditulis oleh Rustam, staff pengajar Fahutan Unmul (Tribun Kaltim, Selasa, 17 Juli 2007) dibeberkan keunikan ekosistem dan species yang menunjukkan kekayaan keanekaragaman hayati Taman Nasional Kutai. Selain kekayaan flora dan fauna tentu saja kawasan lindung seperti TNK juga menyimpan potensi lain yang mungkin tidak terlihat tetapi bisa dirasakan pengaruhnya bagi kawasan di sekitarnya.

Sadar atau tidak sadar, kawasan dengan tutupan pepohonan yang tinggi secara efektif akan berfungsi sebagai daerah resapan dan penyimpanan air. Air yang tersimpan dalam kawasan itu kelak akan dipanen lewat sumber-sumber mata air dan sungai guna kepentingan konsumsi maupun irigasi bagi banyak kawasan di sekitarnya. Kawasan lindung yang fungsi alamiahnya belum terganggu juga merupakan gudang atau pabrik udara bersih dan penjaga iklim. Suplai udara yang bermutu dan iklim yang stabil akan membantu terciptanya masyarakat yang sehat dan kondisi yang baik bagi masyarakat untuk mengembangkan kehidupannya.

Karena terbiasa mendapatkan sesuatu begitu saja maka kita sering lupa atau tidak sadar betapa istimewanya kedudukan kawasan lindung dalam rangkaian ekosistem kehidupan. Kelak jika ambang batas kerusakan TNK tidak bisa lagi ditahan maka kawasan di sekitarnya akan kehilangan nilai berharga dari kawasan itu dengan segala isinya sebagai satu kesatuan ekosistem. Kalau kebutuhan untuk pemukiman, perkebunan dan lain-lain di daerah yang mana kawasan TNK berada memang tinggi, apakah tidak ada kawasan lain diluar TNK yang bisa menjawab kebutuhan itu?. Dalam jangka pendek meng’enclave’ kawasan TNK mungkin merupakan pilihan yang gampang, tapi pilihan seperti ini kelak akan menjadi preseden untuk rangkain enclave-enclave berikutnya.

Menoreh Sejarah Baru
Sejarah keberadaan kawasan lindung pada umumnya bukanlah hasil torehan kita. Adanya karena sebuah pewarisan dari jaman sebelumnya. Kalaupun sekarang masih ada kawasan yang sungguh-sungguh terjaga sejatinya juga bukan karena kita yang menjaga. Sebab kawasan lindung yang benar-benar alamiah umumnya berada di daerah yang sulit dijangkau. Karena sulitnya maka menjadi susah untuk disentuh, dimasuki dan diduduki sehingga kondisinya masih benar-benar alami. Ini berarti alamlah yang menjaga dirinya sendiri.

Atas nama kehidupan perekonomian masyarakat, roda investasi dan pendapatan daerah beberapa kawasan lindung tengah berada dalam posisi dilematis. Lingkaran yang pada satu sisi merupakan penghancuran disisi lainya adalah penghidupan bagi banyak pihak yang saling terhubung mulai dari penebang, penambang, petani, pemodal, pedagang, pemilik warung (termasuk remang-remang), aparat keamanan, lembaga berbasis komunitas, preman, pejabat dan lain sebagainya. Issu konversi kawasan lindung juga merupakan medan bagi politisi (dan calon-calon politisi) untuk ikut mengais keuntungan lewat janji-janji perjuangan guna mengadvokasi perubahan kebijakan agar menguntungkan masyarakat.

Pertanyaannya apakah benar kelompok masyarakat yang menginginkan perubahan status kawasan lindung merupakan cermin dari fenomena ekonomi informal yang lahir dari keterpinggiran atas akses terhadap sumberdaya alam?. Jika benar maka pemerintah dan para pengambil kebijakan harus secara kreatif mencarikan jalan keluar dan bukannya membiarkan atau mengamini jalan keluar yang tidak berkelanjutan.

Akar kontroversi dan permasalahan yang mendera kawasan lindung adalah bagaimana hutan dengan segala isinya bisa tetap lestari sekaligus memberi nilai ekonomi yang maksimal tanpa menganggu kestabilan fungsi ekologisnya. Sebuah harapan yang sulit untuk diwujudkan memang. Hutan dengan kekayaannya menjadi incaran banyak pihak terutama investor yang bermodal kuat. Mobilisasi masyarakat untuk menduduki kawasan lindung bisa jadi merupakan ’muslihat’ dari para investor agar kelak mereka bisa menguasai kawasan itu secara lebih mudah dan jauh dari kontroversi.

TNK sebagai kawasan lindung memang dibentengi dengan berbagai aturan seperti UU Kehutanan, UU Konservasi SDA dan Ekosistem, PP tentang perlindungan hutan, Pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa dan lain-lain, tetapi tetap saja tetap sekarat. Berbagai kegiatan yang tak selaras dengan fungsi kawasan lindung semakin marak, ’enviromental governance’ juga tak terbukti dan wabah lapar lahan yang tidak hanya milik investor semata akan membuat tekanan terhadap kawasan lindung semakin menguat. Berbagai bencana ekologis mestinya mampu membuka mata dan mengajak kita bersama untuk menulis sejarah baru bahwa kita bukan lagi sebuah masyarakat yang hanya menuai, memunggut dan memetik hasil kawasan lindung, melainkan mampu menjaga, merawat dan bahkan membesarkannya.

0 komentar:

Posting Komentar